Ambon, Malukupost.com – Puluhan masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Pulau Buru (AMA-PB) menolak Danau Rana di Kabupaten Buru, dijadikan sebagai destinasi wisata internasional oleh Pemkab Buru. Penolakan itu, disampaikan melalui unjuk rasa di depan Kantor DPRD, Selasa (24/9). Aliansi ini juga melibatkan Soa Polo Rua dan Geran Pa.
Koordinator Lapangan Helmi Lesbassa mengaku, alasan pihaknya melakukan penolakan karena nilai religius di kawasan itu akan hilang. Rasa keingintahuan tentang sesuatu yang baru dilihat oleh para wisatawan menjadi penyebab pemicu pelanggaran aturan adat. Barang-barang antik atau peninggalan adat yang tersimpan di beberapa rumah adat di tepian danau Rana terancam hilang meski diawasi secara ketat.
“Lingkungan danau akan rusak, ketidakstabilan ekonomi, akan ada mobilisasi penduduk yang akan mendiami kawasan lindung seperti rumah adat, kebijakan investor tak memihak penduduk lokal dan budaya lokal perlahan-lahan akan punah,” kata Lesbasa.
Kebijakan Pemkab Buru, juga dinilai dilakukan secara sepihak. Tidak keterlibatan masyarakat adat dari 24 suku marga dalam sebuah diskusi, saat pemerintah berencana menetapkan danau Rana sebagai lokasi wisata dunia.
“Harusnya melibatkan semua pihak,” ujarnya.
Dari tuntutan itu, pihaknya pun menuntut DPRD memberi tegur Pemkab Buru untuk membatalkan keputusan itu. Apalagi, pemerintahan Ramli dituding belum melakukan sosialisasi dengan masyarakat perihal dampak lingkungan karena kemungkinan akan ada pencemaran lingkungan kendati telah dikeluarkan Surat Edaran Bupati Buru Nomor : 049/269 Tentang Himbauan Mewujudkan Danau Rana Surga Tersembunyi.
“Kadis Pariwisata Pemprov maupun Pemkab harus menjelaskan perencanaan atau masterplan destinasi danau Rana ke masyarakat,” ujar Lesbasa.
Menanggapi hal ini, Ketua Sementara DPRD Maluku Lucky Wattimury mengaku, pihaknya akan menindaklanjuti tuntutan itu termasuk anggota dewan dapil Kabupaten Buru ke Pemprov Maluku. Berfungsi sebagai pengawas, memiliki kewenangan mengontrol pelaksanaan perda dan peraturan lainnya serta kebijakan pemerintah daerah, membuat DPRD berhak menyampaikan aspirasi AMA-PB ke Pemkab Buru melalui Pemprov.
“Meskipun kebijakan Pemkab Buru tidak masuk dalam pengawasan kami, namun tuntutan itu kami sampaikan ke Pemprov Maluku,” tanggapnya.
Sementara itu, anggota dewan Dapil Buru Ikram Umasugi mengatakan, harus ada ketegasan Gubernur Maluku kepada Pemkab Buru perihal tuntutan masyarakat. Apalagi tuntutan itu dilakukan berdasarkan sejumlah pertimbangan dan tahapan, seperti pendekatan dasar hukum sebagai dasar tindakan juga Danau Rana sangat penting bagi masyarakat adat setempat.
“Bila belum ada tindak lanjut dari Pemprov, maka DPRD berhak meminta pejabat pemerintah daerah, badan hukum atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Jika permintaan ini tidak dipatuhi, maka dapat dikenakan panggilan paksa (sesuai dengan peraturan perundang-undangan). Jika panggilan paksa ini tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 hari (sesuai dengan peraturan perundang-undangan),” katanya. (MP-9)