Fasilitas Publik Milik Pemerintah Masih Pakai Bahasa Asing

Tulisan yang terpampang di sejumlah fasilitas publik milik Pemprov Maluku dan Pemkot Ambon masih menggunakan bahasa asing (Inggris). Padahal, bahasa resmi negara wajib dipakai. Tulisan menggunakan bahasa asing itu, diantaranya terlihat megah terpasang di pintu masuk utama Port of Ambon di Jl.Yos Sudarso, Kelurahan Honipupu, tempat wisata Ambon City of Music di Jl.Dr.J.Leimena, Hative Besar dan Bussines Center milik Pemprov Maluku di Belakang Soya Ambon.
Ambon, Malukupost.com – Tulisan yang terpampang di sejumlah fasilitas publik milik Pemprov Maluku dan Pemkot Ambon masih menggunakan bahasa asing (Inggris). Padahal, bahasa resmi negara wajib dipakai. Tulisan menggunakan bahasa asing itu, diantaranya terlihat megah terpasang di pintu masuk utama Port of Ambon di Jln.Yos Sudarso, Kelurahan Honipupu, tempat wisata Ambon City of Music di Jln. Dr. J.

Leimena, Hative Besar dan Bussines Center milik Pemprov Maluku di Belakang Soya, Ambon.

Seorang warga Kota Ambon, Arkan Toara (30), merasa prihatin atas keputusan pemerintah memakai bahasa asing. Pemerintah harusnya tertib mengutamakan bahasa Indonesia, bukan malah melanggar undang-undang tentang penggunaan bahasa secara tepat. 
“Sebaiknya, Badan Bahasa Kemendikbud segera meninjau hal ini melalui kunjungan kerja ke sejumlah instansi pemerintah yang masih menggunakan bahasa asing termasuk di Ambon Maluku,” katanya di Ambon, Jumat (30/8).
Menurut dia, tinjauan Kemendikbud melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) sudah sesuai berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Indonesia, tugas Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud adalah menjaga, merawat, dan memartabatkan bahasa negara yaitu bahasa Indonesia. 
“Sesuai amanat UU itu juga, bahasa Indonesia wajib digunakan di ruang publik dan fasilitas pelayanan umum,” ujar Toara.
Warga lainnya, Haris Hatta (29) mengaku, fenomena ruang publik saat ini yang banyak menggunakan bahasa asing, sangat bertentangan dengan Undang-Undang. “Bukan berarti bahasa asing tidak boleh tetapi bahasa Indonesia harus diutamakan. Yang salah itu kalau terbalik. Bayangkan kalau kakek-nenek kita datang kesana, kemudian membaca bahasa asing, hal itu akan membingungkan, dan  hak masyarakat kita sendiri untuk mengakses ruang publik hilang,” akunya.
Menurut dia, investasi dari luar negeri dan dalam negeri tidak akan berkurang hanya karena menggunakan bahasa Indonesia, bahkan kemungkinan bertambah. Alasannya, karena yang ingin Pengunjung Asing lihat adalah milik Indonesia seperti bahasa, budaya dan lainnya. 
“Jadi, begitu mereka datang, informasi ruang publik di Indonesia itu kok berbahasa Inggris. Ini yang kita luruskan. Perlu diketahui, kita tidak anti bahasa asing hanya saja harus mengutamakan bahasa Indonesia. Jangan sampai tertukar, bahkan ada yang bahasa asing semua terkecuali merek dagang internasional,” tutur Haris.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi A DPRD Maluku Khutni Tuhepaly mengatakan, pemerintah semestinya menguatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, karena merupakan salah satu ranah Badan Bahasa dalam hal menyukseskan gerakan revolusi mental. Selain itu, pengutamaan bahasa Indonesia tidak dimaksudkan sebagai permusuhan terhadap bahasa asing, tetapi undang-undang mengamanatkan bahasa Indonesia harus diutamakan seperti yang diterapkan Jepang, Korea dan Prancis. Ketiga negara ini, lebih mengutamakan bahasanya ketimbang bahasa asing. 
“Sebagian besar masyarakat belum mengetahui tentang Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, terutama pada  pasal 36—39, ada hal-hal yang diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia,” kata Tuhepaly.
Pada pasal itu disebutkan, lanjut dia, nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang (kecuali merek dagang internasional yang sudah dipatenkan), lembaga usaha, lembaga pendidikan, produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia, rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum wajib menggunakan bahasa Indonesia.
“Atau begini, boleh saja memakai bahasa asing namun disertai dengan bahasa Indonesia agar masyarakat awam tidak bingung. Pemerintah harusnya melakukan evaluasi. Alangkah baiknya memadankan istilah asing yang ada di ruang publik seperti Port of Ambon dipadankan menjadi Pelabuhan Ambon agar lebih dipahami masyarakat,” pungkas Tuhepaly. (MP-9)

Pos terkait