Ambon, Malukupost.com – Anggota komisi D DPRD Maluku, Ramly Mahulette mengatakan, anggaran pemerintah provinsi ini belum bisa membiayai tambahan guru honorer yang dialihkan dari 11 kabupaten/kota, sehingga masih menjadi tanggungjawab sekolah asal mereka.
“Sesuai keterbatasan anggaran pemprov, kita belum bisa membiayai tambahan untuk yang pengalihan dari kabupaten/kota jadi itu tetap masih menjadi tanggungjawab sekolah masing-masing untuk membayar guru honorer,” kata Ramly di Ambon, Selasa (15/8).
Penjelasan tersebut disampaikan dalam rapat kerja komisi D DPRD Maluku dipimpin Saadiyah Uluputy dengan pimpinan bersama anggota komisi V DPRD Provinsi Riau yang melakukan studi banding ke Maluku.
Berdasarkan laporan dan penjelasan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku selaku mitra komisi, terdapat sekitar 210 SMA dan 110 SMK di kabupaten/kota.
Maka tentunya dari sisi pembiayaan APBD untuk pembayaran dana BOS dari semua sekolah tiap tahun dianggarkan Rp40 miliar lebih, kemudian tenaga honorer yang di SK-kan dengan Kadis dikbud provinsi setiap tahun dari jumlah 1.530 orang.
Menurut dia, kalau mau ikut perintah UUD 1945 anggaran pendidikan 20 persen tetapi ini mendekati seperdua sehingga tentu masih menyisakan banyak persoalan.
“Guru honorer yang banjir dari 11 kabupaten/kota berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 saja angkanya 2.900 orang kalau dikalkulasi maka perlu mencari Rp50 miliar dan sudah bahas dengan Dikbud tetapi belum ada respons balik dari pemprov,” jelas Ramly.
Oleh karenanya yang baru jalan dari pengalihan kewenangan sesuai UU itu adalah penyesuaian pembayaran gaji guru SMA/SMK, kemudian guru honorer 1.530 orang sudah rutin tiap tahun anggaran berjalan dan yang bajir dari kabupaten/kota 2.900 itu sementara masih tetap menggunakan sistem pembayaran honorer dari masing-masing sekolah.
Soal pelimpahan aset, kata Ramly, hal ini juga belum didiskusikan lebih lanjut, karena mengurus gaji penyesuaian setiap bulan ini saja dari 1 Januari sampai sekarang masih ada keterlambatan sampai jelang tanggal 10 bulan berjalan.
“Jadi dia belum normal 100 persen dari tanggal 1 sampai 5 tiap bulan berjalan,” tandasnya.
Kemudian untuk masalah infrastruktur, daerah masih dibantu DAK dari kementerian dan tahun ini Maluku mendapatkan alokasi dana sebesar Rp84 miliar lebih dan ini bisa membantu sesuai keterbatasan APBD Maluku untuk membiayai infrastruktur.
Soal multimedia masih jadi hambatan penting karena propinsi ini dari segi karakteristik pulau-pulau yang dihubungkan dengan laut, makanya dari jumlah SMA dan SMK saja yang ada 300-an itu, Ujian Nasional 2017 untuk 200 lebih SMA hanya baru 13 sekolah yang siap melaksanakan UN berbasis komputer secara mandiri.
Sekolah yang lain masih borongan atau bergabung dengan sekolah yang IT sudah bagus lalu diarahkan dinas provinsi untuk bergabung.
“Tentu dalam rapat kerja beberapa kali dengan Dikbud provinsi, belum ada penjelasan konkrit soal peneyerahan aset dari pemkab/pemkot ke provinsi terkait soal gedung maupun faislitas lain dan soal status tanah,” katanya.
Sebab pengaruh pilkada ini juga berdampak pada soal pendirian sekolah baru terutama SMA/SMK di kecamatan serta desa.
Status tanah dari SMA/SMK masih menjadi milik masyarakat yang peduli terhadap kepentingan sekolah di situ, karena warga berinisiatif dengan pemda, tokoh ada dan tokoh agama memberikan lahan yang sifatnya sementara untuk kepentingan pendidikan.
Kalau yang sudah menjadi aset pemda barangkali SMA/SMK di pusat kabupaten dan kota tetapi di desa-desa atau tingkat kecamatan belum diselesaikan dan tetap menjadi milik masyarakat. (MP-5)