Ambon, Malukupost.com – Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Lusi Pailouw mengakui, tingkat kekerasan terhadap perempuan di Maluku makin tinggi tahun. Tercatat, jumlah kekerasan di tahun 2019 sejak bulan Januari hingga Juni sebanyak 169 kasus. Hanya terpaut 7 angka dari total jumlah kasus kekerasan di tahun 2018 lalu. Di tahun kemarin, terjadi 176 kasus.
“Ini berdasarkan data di Polres Pulau-Pulau Ambon dan Lease. Belum di Polres lainnya. Ada kecenderungan, jumlah ini kian bertambah,” katanya kepada wartawan di Ambon, Kamis (12/12).
Lusi yang juga menjabat sebagai Direktur Mutiara Maluku ini mengaku, kondisi kekerasan terhadap perempuan terutama kalangan anak-anak makin miris. Hal ini lantas memicu pihaknya untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Maluku maupun instansi pemerintah terkait lainnya.
“Evaluasi ini dilakukan berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2012. Perda ini merupakan dokumen regulasi atau aturan, namun harus dilaksanakan programnya agar tindak kekerasan ini makin berkurang,” ujarnya.
Menurut dia, penyebab terjadinya kekerasan sangat bervariasi atau bermacam-macam. Sementara disisi lain, pelakunya kebanyakan merupakan kerabat dekat korban. Dirinya pun mengutip pernyataan Gubernur Maluku Saud Assagaff, bila Maluku sudah ada dalam kondisi darurat seksual. Pernyataan ini, semestinya diimbangi dengan program kerja dari dinas terkait. Namun hingga sekarang, belum ada tindak lanjut melalui program pencegahan mengenai kasus ini.
“Olehnya itu, pertemuan dengan Komisi IV DPRD Maluku merupakan tindak lanjut dari diskusi kami bersama para aktivis perempuan lainnya mengenai evaluasi Perda Nomor 2 Tahun 2012 itu,” ujar Lusi.
Poin dari hasil diskusi itu, yakni proses pelaksanaan perda belum diterapkan pemerintah secara maksimal sebagai landasan mengeni hak korban. Bahkan, masih banyak kelemahan saat perda ini dilaksanakan. Hingga ada pokok pikiran, untuk merevisi perda tersebut sekaligus opsi tentng dilakukan pengawasan ketat dari Komisi IV DPRD Maluku perihal kasus ini.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi IV DPRD Maluku Samson Ricardo Attapary mengaku, kekerasan terhadap telah menjadi perhatian komisi. Sebab, kondisi korban kekerasan merupakan kelompok rentan dan wajib dilindungi negara.
“Kami akan menindaklanjuti hal ini dalam rapat kerja pertama di tahun 2020 bersama dinas terkait untuk membahasnya. Memang benar, bila tidak ada perhatian maka dampaknya akan semakin luas,” tanggapnya.
Mengenai revisi perda, lanjut Samson, belum ada poin yang membahas tentang tahapan penanganan korban kekerasan secara khusus. Meskipun pelaksanaan penanganan pemulihan korban sejak awal hingga akhir membutuhkan biaya besar. Andai, korban alami luka terbuka dan membutuhkan visum, maka biaya kecil tidaklah cukup.
“Biasanya tarif biaya penanganan mencapai Rp 2 juta. Jumlah ini tidak cukup bayar medis maupun pemulihan lainnya termasuk pemberdayaan, lanjutnya. (MP-9)