Ambon, MalukuPost.com -Pimpinan Lembaga Keagamaan menyambangi kantor DPRD Maluku untuk memprotes kebijakan Penjabat Bupati Seram Bagian Barat (SBB) Andi Chandra As’aduddin yang dinilai akan menciptakan kondisi yang tidak harmonis dalam kaitan dengan persolan umat keagamaan di bumi saka mese nusa itu.
Kedatangan pimpinan lembaga Keagamaan ke rumah rakyat, karang panjang, Ambon, selasa (20/09/2022), dipimpin Ketua MUI bersama Parisada Hindu, Budha, Katolik dan Protestan, didampinggi Kepala Kanwil Agama Maluku,
“Mereka menyampaikan beberapa persoalan yang dinilai tidak kondusif, kaitan kebijakan Penjabat Bupati SBB. Ini bisa memunculkan intoleran,” ungkap Ketua Komisi IV DPRD Maluku, Samsok Atapary.
Dikatakan, kebijakan-kebijakan Penjabat Bupati SBB yang menjadi aspirasi pimpinan Lembaga Keagamaan, diantaranya penataan aset.
Perlu diketahui, dimasa pemerintahan Mantan Bupati Jacobis Puttileihalat memberikan pinjam pakai mobil operasional. Namun kemudian ditarik kembali oleh Penjabat Bupati SBB dengan cara yang dianggap tidak etis.
“Mereka tidak keberatan kalau itupun mau ditarik dalam kaitan penataan aset, hanya saja cara yang dilakukan Penjabat Bupati yang dianggap tidak etis, begitu juga kita menilai begitu,”ucap Atapary sembari mencotohkan mobil mobil pastor yang diambil lalu di dorong, begitu juga beberapa ketua Klasis termasuk di MUI, penjabat Bupati memerintahkan Satpol PP menarik tanpa satu koordinasi, komunikasi yang baik padahal mereka lembaga keagamaan.
“Mobil itu bukan mereka minta di 12 tahun lalu di masa pemerintahan pak Bob, tetapi itu inisiatif Pemda SBB memberikan. Lalu tiba-tiba karena kepentingan aset, lalu mereka menarik yang menurut lembagaan keagamaan tidak etis,”ujarnya.
Tak sampai disitu, tindakan tidak etis Penjabat Bupati SBB terlihat saat Wakil Pastor ingin menjumpainya dengan maksud bersilaturahmi, namun tidak dilayani secara baik.
“Bayangkan mereka menunggu dari. Pagi sampai jam pukul 17.00 WIT, bahkan sampai pukul 19.00 WIT, padahal ini koordinasi untuk kepentingan kaitan kebersamaan umat Di SBB, termasuk Katolik untuk Pesparani di kota Tual. Pesparani ini kan resmi, lembaga yang punya dasar hukum. Mestinya Penjabat Bupati memahami itu, mereka datang untuk berkoordinasi,”tutur Atapary.
Begitu juga kebijakan Penjabat Bupati dalam pengelolaan Haji yang anggap berbeda dengan Kabupaten/kota lain.
“Padahal ini dana hibah dari Pemda ke Kantor Agama sebagai penyelenggara Haji. Mestinya dana hibah yang diserahkan, dikelola secara maksimal, begitu juga di provinsi dana Hibah di serahkan ke Kakanwil, kemudian lewat panitia penyelenggara Haji mereka yang kelola. Masa sampai pejabat Kesra datang ke Kakanwil minta tas jamaah haji, jadi mekanisme tidak sesuai dengan apa yang diharapkan,”beberapa Atapary.
Sikap tidak etis Penjabat Bupati SBB juga terlihat saat pengajuan fasilitasi akses jalan untuk acara MPP di Kaibobu.
“Acara MPP di Kaibobu di koordinasi lewat tokoh agama, bukan hanya dari sinode tetapi mereka semua mencoba fasilitas akses jalan yang lebih, tetapi seakan-akan dibatalkan atau tidak ditanggapi, lalu mereka sampaikan ke Pak Gub, dan pak gubernur langsung merespon untuk mengatasi persoalan itu,”cetusnya.
Terhadap semua hal yang terjadi, Atapary menilai sikap Penjabat Bupati bisa menciptakan benturan di akar rumput paling bawah, karena sudah berkaitan dengan kelambagaan agama. Padahal tugas Bupati sesuai undang-undang melakukan pembinaan kepada umat beragama termasuk lewat lembaga keagamaan.
“Jadi kalau kebijakan sudah kontradiktif dengan itu, bagaimana mau membangun masyarakat SBB yang notabene bagian dari keagamaan. Pada di satu sisi Penjabat Bupati ditugaskan oleh Menteri dagri untuk menyelesaikan potensi konflik yang ada di SBB berkaitan batas ulayat, desa, tetapi kalau mengabaikan lembaga agama, tokoh agama bagaimana mensinergi untuk menyelesaikan. Jadi mereka menyampaikan itu untuk mencari solusi, tetapi yang pertama supaya tidak terjadi gejolak di SBB dan bahu membahu untuk membangun SBB kedepan lebih baik,”pungkas Atapary.