Langgur, MalukuPost.com – DPRD Kabupaten Maluku Tenggara (Malra) meminta Pemerintah Kabupaten setempat segera menetapkan pakaian adat Kei.
Ketegasan tersebut Pimpinan dan Anggota Komisi I DPRD setempat dalam pembahasan APBD Perubahan Tahun 2022 antara Komisi I dengan Sekretariat DPRD Malra, Rabu (31/8/2022).
Diketahui, Sekretariat DPRD lewat Sekwan mengusulkan pengadaan pakaian adat untuk 25 pimpinan dan anggota dewan pada penganggaran APBD Perubahan tahun ini.
Sekwan DPRD setempat Andreas Savsavubun mengakui, hingga saat ini pemerintah daerah belum menetapkan bentuk, warna, serta jenis pakaian adat.
Savsavubun menambahkan, berdasarkan catatan salah satu misionaris Belanda yang menulis bahwa warna yang cocok untuk pakaian adat Kei adalah warna ungu (dalam bahasa Kei : kamumum).
Untuk warna merah digunakan masyarakat adat Lorsiuw, sementara warna kuning untuk Lorlim.
Atas usulan tersebut, pimpinan dan anggota Komisi I mempertanyakan sejumlah hal termasuk motif pakaian adat Kei yang dimaksudkan.
Wakil Ketua Komisi I Antonius Renyaan yang memimpin rapat tersebut menyatakan, sampai saat ini belum ada penetapan pakaian adat kei.
“Apakah sudah ada penetapan melalui suatu forum untuk pakaian adat kita? Maksudnya, harus didesain pakaian adatnya, harus pula ada dasar aturan. Desainnya juga harus melibatkan tokoh-tokoh adat. Penting untuk pengadaan, tetapi tidak boleh melanggar aturan adat kita,” tegas Renyaan.
Renyaan menjelaskan, pengadaan pakaian adat harus didasarkan pada peraturan daerah yang mengatur tentang pakaian adat Kei.
Untuk itu, Komisi I merekomendasikan pemerintah daerah untuk menggelar seminar dan loka karya terkait pakaian adat daerah setempat.
“Komisi I mendesak pemerintah daerah untuk segera menggelar seminar loka karya. Dari hasil seminar itu ditetapkan peraturan daerah. Dari peraturan daerah itulah, kemudian pengadaan pakaian adat untuk DPRD dan lain diadakan,” tutur Renyaan.
Sementara itu, anggota Komisi I Thomas Ulukyanan mengungkapkan, pakaian adat kei yang dipakai selama ini, sejatinya tidak seperti yang digunakan oleh orang Kei zaman dulu.
Olehnya itu, Ulukyanan mempertanyakan apakah sudah ada penetapan pakaian adat.
“Setahu saya, sepanjang ini, belum ada dasar tentang penetapan corak, ragam, pakaian adat Kei,” kata Ulukyanan.
Usulan dimaksud juga mendapat perhatian dari anggota Komisi I lainnya yakni Albertus Alo Jamlean.
Politisi partai Garuda itu mengungkapkan, beberapa waktu lalu, para Rat (Raja) menggelar seminar loka karya tentang pakaian adat, namun belum ada keputusan tetap.
“Kegiatan itu memutuskan bahwa tidak boleh membuat pakaian adat sebelum ada keputusan dari Raja-Raja,” ujar Jamlean
.
Ketua Komisi I Adolf Markus Teniwut sependapat dengan Wakil Ketua dan anggota Komisi.
Menurut Teniwut, anggaran pengadaan pakaian adat ini sebaiknya dialihkan ke kegiatan lain.
“Komisi I ini berbicara menyangkut hokum dan juga pemerintahan. Dalam pemerintahan ini hukum Kei juga ada. Untuk itu, harus harus melibatkan tokoh adat dalam menetapkan pakaian adat Kei,” tandas Teniwut.
Pembahasan yang berjalan alot tersebut akhirnya diputuskan bahwa terkait anggaran pengadaan pakaian adat Kei dialihkan untuk kegiatan lain.