
“Ini menjadi persoalan utama,” katanya di Ambon, Jumat (29/11).
Menurut dia, para pelaku industri harus sedikit mengubah perspektif mereka dalam melihat energi. Dari yang selama ini hanya bicara soal energi bersih melalui energi terbarukan, menjadi ketersediaan listrik bagi seluruh masyarakat. Energi termasuk listrik tak hanya harus bersih dan berkelanjutan, tapi juga bisa diakses oleh seluruh masyarakat.
“Jadi jangan hanya lihat di kota, lihat juga yang di daerah pedalaman,” ujar Tethool.
Mengenai hal ini, kata dia, pihak komisi akan mengagendakan pertemuan dengan PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara membahas akses listrik terutama ke kawasan terpencil seperti di pemukiman dataran tinggi Pulau Seram, sejumlah daerah di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku Barat Daya dan Kepulauan Aru.
“Warga di daerah ini ingin mendapat listrik. Jadi bukan hanya masyarakat perkotaan saja yang mendapatkan listrik,” kata Tethool.
Dia menjelaskan, listrik merupakan salah satu berkah paling penting yang diberikan sains kepada manusia. Tanpa listrik, seluruh operasi perkantoran bisnis dan lainnya tak bisa berjalan. Meski membawa banyak manfaat, listrik juga amat dekat kemudaratan dalam rupa ketidakadilan sosial.
“Seperti sekarang, pembangunan infrastruktur ketenagalistikan belum merata di seluruh wilayah Maluku,” jelas Tethool.
Dia menambahkan, ketidakadilan di bidang ketenagalistrikan telah menimbulkan dampak negatif yang kompleks. Selain menimbulkan beban fiskal yang merongrong program pembangunan secara umum, subsidi listrik yang tak tepat sasar, secara tidak langsung menimbulkan penilaian keliru tentang konsep keadilan sosial di sejumlah kalangan masyarakat, terutama mahasiswa dan aktivis LSM. Makanya, ketika ada kebijakan pemangkasan subsidi listrik atas nama demokrasi, mereka lantas berdemo bila pemerintah telah berlaku tak adil terhadap rakyat kecil.
“Padahal, secara faktual (hasil studi TNP2K) yang justru lebih banyak menikmati subsidi listrik adalah sekelompok kecil warga kelas menengah-atas. Akibatnya, infrastruktur dan akses ke ketenagalistrikan yang tak merata berpotensi melanggengkan kemiskinan, kebodohan dan tingkat kesehatan yang rendah,” (MP-9).